Belum lama berselang, saya mengisi pelatihan (workshop) menulis untuk sebuah bank papan atas yang punya slogan “Melayani Negeri, Kebanggan Bangsa”. Para pesertanya datang dari berbagai kota di Indonesia, yang mana mereka adalah jajaran manajerial bank tersebut. Sehari-hari, para staf pilihan ini menangani publikasi, kehumasan, dan media internal perusahaan. Dan, bukan hal mudah mengisi lokakarya—yang idealnya hanya diikuti 10-20 orang itu—namun diikuti oleh 50 orang.

Tampil pada kesempatan pertama (sebelumnya ada sesi internal), saya dipaksa untuk memutar otak, bagaimana menaklukkan minat dan perhatian para peserta? Akhirnya, saya teringat dengan sebuah game penulisan yang saya praktikkan pada workshop SPP sebelumnya. Seingat saya, game ini baru sekali saja saya perkenalkan dan praktikkan, jadi pastilah belum banyak peserta yang tahu. Begini permainannya…

Saya perkenalkan diri dan umpamakan diri saya adalah Sang Malaikat Pencabut Nyawa. Peserta di hadapan saya, saya posisikan sebagai orang-orang yang hanya punya kesempatan sekali saja, untuk membujuk saya supaya tidak “mencabut nyawa” mereka dengan segera. Wah, ngeri ya…

“Saya Malaikat Pencabut Nyawa… Anda semua saya beri kesempatan, yang TERAKHIR kalinya, untuk menyampaikan satu pesan TERPENTING yang mesti Anda sampaikan kepada orang-orang terkasih, atau orang-orang yang paling Anda cintai. Renungkan pesan terakhir itu, tuliskan pesan itu, lalu SMS ke tiga nomor handphone saya ini…. Ingat, waktu Anda hanya 5 menit, tidak lebih, tidak kurang…. Mulai!”

Begitu kata ‘Mulai!’ saya teriakkan, saya lihat para peserta langsung pencat-pencet handphone. Mereka tampak serius sekali menuliskan pesan “terakhirnya”. Sambil mengamati aktivitas mereka itu, saya kembali ngomporin mereka. “Ingat, kita tidak tahu kapan Tuhan akan benar-benar memanggil kita ke pangkuan-Nya. Jangan sia-siakan kesempatan ini. Jangan sampai pesan terpenting dalam hidup Anda tidak tersampaikan. Dan, jika pesan Anda benar-benar menyentuh, si ‘Malaikat Pencabut Nyawa’ ini pasti akan memberikan ‘sesuatu’ kepada Anda….”

Kurang dari 5 menit, kedua handphone yang saya bawa tak henti-hentinya bergetar. Pesan-pesan singkat masuk satu demi satu, sampai jumlahnya mencapai 50-an SMS. Rupanya, saya dapatkan pesan-pesan terpenting yang sangat bervariasi. Ada yang biasa saja, namun ada yang menurut saya sangat menyentuh. Berikut adalah seperlima dari seluruh yang masuk, dan saya pilih karena saya anggap memang penting dan cukup mengena di hati:

“Tiada kalimat yg paling indah di dunia ini selain doa.” (081234xxxxx)

“Hal yg terbaik dan yg terindah dalam hidup aku adalah mengenal kamu.”(0813494xxxxx)

“Untuk anak-anak bertiga seandainya mama meninggalkan kalian lebih dulu izinkan ayah menikah lagi.” (081210xxxxx)

“Ingatlah, hidup dan mati adalah kuasa Sang Pencipta sementara waktu terus berjalan dan tdk akan pernah bisa kembali lagi, maka sebelum terlambat berjalanlah terus di jalan Tuhan.” (081239xxxxx)

“Istriku tercinta, jika aku mati, bisakah engkau ikhlaskan bagian tubuhku yg msh bermanfaat engkau donorkan bagi org yg membutuhkan, semoga Allah meridoi kita di akherat.” (081217xxxxx)

“Anak-anakku hiduplah dgn penuh rasa syukur dan kebanggaan, bangga menjadi diri sendiri, bangga utk selalu memberi yg terbaik pada sesama.” (08118xxxxx)

“Ya Allah terima kasih atas berkah & kesempatan yg telah Kau berikan kepada kami. Byk kelokan perjalanan telah kita lalui. Anak-anakku ayah adalah makhluk langit yg dititipkan di bumi. Utk itu ingatlah bahwa apa yg kita punya adalah apa yg kita berikan. Berbagilah dgn sesama, jadilah anak sholeh.” (081226xxxxx)

“Anak-anakku bersyukurlah karena Allah memberi kita banyak kelebihan. Kita punya banyak hal baik yg dpt kita bagi pada sesama. Berbanggalah krn kita memiliki harga diri. Harga diri yg dibangun dari kejujuran, diperoleh dari kerja keras bukan kemalasan, ditempa melalui ujian, didasari dgn kerendah hatian bukan kesombongan. Karena kita tahu kita bukanlah apa2 dan bukan siapa2. Kita adalah makhluk Allah yg diberi kesempatan memaknai hidup.” (08118xxxxx)

“Hidup itu perjuangan, hadapi dengan tabah. Ingat Tuhan beserta kita. Dalam menjalani hidup ini tentunya banyak yang kita jumpai, suka, duka, sedih, senang, senyum dan air mata selalu saja kita jumpai, itulah kehidupan. Semuanya itu pasti akan berakhir, semua sudah ditetapkan oleh Yang Maha Kuasa. Kita yg mengerti akan itu yg mampu bertahan dan tegar jika tiba saatnya utk bertemu dgn perpisahan. Org tabahlah yg akan tetap kokoh tentunya selalu bersama Sang Pencipta.” (081278xxxxx)

“Tgl 19 November 2008 adalah hari yang bersejarah bagi kita.Waktu itu hari yang penuh kebahagiaan untukku, pada tahun ini perkawinan kita yang ke-13 thn, 2 anak telah kuberikan untuk mas, dan 13 thn hati ini telah kutempatkan utk suamiku, semoga tempat itu tetap di tempatnya walaupun banyak hal menggoyangkannya sehingga hati itu tdk tumpah atau jatuh dari tempatnya begitu pula sebaliknya. Jika saya tdk ada nanti semoga suamiku selalu ingat hari2 bersejarah kita dan anak2 kita karena tdk ternilai harganya walaupun dgn materi sekalipun dan tolong tetap jaga anak2 kita dengan kasih sayang, karena mrk adalah cahaya surga bagi kita, tolong didik atau ingatkan mrk selain ilmu dunia juga ingat akhirat sehingga menjadi anak sholeh dan sholeha, karena mrk yg akan mengirim doa pd kita nanti.” (081611xxxxx)

Bagaimana kesan Anda setelah membaca pesan-pesan singkat tersebut? Tersentuh, tertawa, terinspirasi, atau malah dapat ide untuk menulis buku kumpulan SMS “pesan terakhir”? Hehehe…. Saya sendiri cukup takjub dan terharu dengan pesan-pesan mereka itu. Sama persis ketika pertama kali memperkenalkan game tersebut ke peserta di SPP tahun lalu, di workshop ini saya rasakan, bahwa pada dasarnya kita semua ini adalah makhluk-makhluk Tuhan yang penuh kasih…

Nah, apa pesan yang ingin saya sampaikan melalui game tersebut? Ini dia… Saya tegaskan kepada seluruh peserta, bahwa sejatinya kita semua itu bisa menulis. Entah itu dengan cara dipaksa, ditugaskan, atau atas kesadaran sendiri dan motivasi-motivasi lainnya, pokoknya tidak ada orang yang tidak bisa menuliskan gagasannya. Dengan satu dan lain cara, pasti bisa, dan pasti ada caranya!

“Terbukti, kan? Anda semua pilih menulis daripada dicabut nyawanya, kan…?!” gurau saya, disambut ketawa para peserta. Beberapa dari mereka manggut-manggut dan mengacungkan jari untuk berkomentar.

Dari catatan saya, sejumlah peserta mengungkapkan, bahwa menuliskan pesan terakhir itu gampang-gampang susah. Namun, game itu memaksa mereka untuk jujur pada diri sendiri saat menulis. Game itu juga membuat mereka menulis dengan melibatkan emosi yang amat dalam. Bahkan, saya ingat ada seorang peserta, ibu-ibu, yang ketika menyampaikan komentarnya sempat agak tersendat-sendat karena sangat terharu. Sebab, pesan yang dia tulis itu betul-betul merupakan ungkapan hati yang paling dalam, yang sangat ingin dia sampaikan kepada orang yang dia cintai.

Saya ingin menggarisbawahi soal menulis dengan jujur ini. Menurut saya, menulis dengan jujur, dengan curahan isi hati, dengan dorongan emosi atau motivasi tertentu, sungguh bisa memberikan nyawa kepada tulisan kita. Karena punya nyawa, tulisan itu benar-benar akan hidup dan bicara, dan karena itulah bisa menimbulkan pengaruh dalam diri pembacanya. Saya pikir, inilah cara menulis yang paling indah, yang mungkin—sadar atau tidak sadar—digunakan oleh para penulis terbaik sepanjang zaman.

Lanjut dengan workshop yang saya ceritakan itu. Saya sampaikan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada para peserta yang mau melakukan game tadi dengan serius. “Nah, karena Malaikat Pencabut Nyawa yang ini sangat baik hati, dan Anda sekalian sudah menyentuh hatinya. Maka, Anda semua mendapatkan kesempatan seumur hidup untuk terus menulis, melanjutkan pesan-pesan terpenting yang hendak Anda sampaikan, kepada orang-orang yang Anda cintai. Jadi, jangan berhenti menulis, teruslah berbagi kasih.”[ez]

* Edy Zaqeus adalah seorang penulis buku bestseller, editor profesional, penerbit, trainer, dan konsultan penulisan/penerbitan dari Bornrich Consulting. Kunjungi blognya: https://ezonwriting.wordpress.com.