kepala syrogen invertOleh: Edy Zaqeus

Ini hasil diskusi dengan teman-teman Facebook (3-4 Sept 09) yang rasanya sangat sayang kalau dibiarkan hilang begitu saja. Barangkali, hasil diskusi ini masih bisa dimanfaatkan untuk memantik imajinasi kita, guna mencari jawaban-jawaban yang mungkin masih tersembunyi. Atau, malah sesungguhnya sudah ada jawabannya sejak dulu kala.

Awalnya adalah status saya yang berbunyi demikian:

“Coba imajinasikan, nanti kl kita ke surga atau neraka (terserah pilihannya he3x), apakah jiwa, pikiran, perasaan/emosi kita sama persis spt waktu di bumi? Maksudnya, apakah jiwa, pikiran, perasaan/emosi yg berkonteks bumi masih identik di sana? Hayo…”

Dan, komentar yang bersambungan bunyinya demikian (thanks buat teman2 yg sdh mau terlibat di diskusi ini):

Prasetya M Brata: beda dong …

Edy Zaqeus: lanjutkan penjelasannya Pak hehehe

Prasetya M Brata: supaya gampang dibedakan dengan penghuni surga yang tampan semua, saya punya wajah yang biasa2 saja, tidak seperti waktu di bumi …

Tanenji Sagma: Surga dan neraka itu dimensi yang berbeda dengan dunia. Ia bagian dari entitas tersendiri yang terbebas dari definisi ruang dan waktu…

Ikhwan Sopa: Beda. Panca indera kita sudah terbebas dari penjara fisik yang rendah, kotor, dan berdebu. Seberapa beda, gak ada yang tau, mungkin ribuan, jutaan, atau miliaran kali lipat. In both cases, ueeeannnnnaaakkkk atau ppuuuuueeedddiiih!

Rina Dewi Lina: Hayooooooooooo

Desi Anugrah: we’ll never know until we try..

Edy Zaqeus:
@ Pak Pras: Hahaha…. berarti kita masih pakai ukuran ‘bumi’?
@ Pak Tanenji: Nah, ini agak mending. Boleh ditambah lg Pak penjelasannya. Apakah di sana kita masih membawa pengetahuan kita dr bumi?
@ Pak Ikhwan: Pikiran duniawi masih menghendaki eksplanasi Pak hahaha…
@ Mbak Rina: Nah… kan?
@ Mas Deska: Takuuut….. kl belum waktunya hahaha

Saptya Revan: surga itu bisa jd tempat yg sempurna yg sangat menyenangkan yg pasti dijamin gk bakal inget sama apapun yg prnh ada di bumi,spt halny ketika menikmati surga dunia lupa antara yg bener ato salah.

Prasetya M Brata: Mas Edy .. lha iya lahhh .. wong kita nggak tau ukuran ‘sono’ .. hehehe .. katanya suruh imajinasi, ya pasti imajinasi dari otak bumi kita skrg ini .. hehehe … makanya mending imajinasi yang enak2 aja .. Tapi kalo seriusnya, menurut ajaran iman saya, yang namanya ‘sono’ (akhirat) itu sesuatu yang belum pernah dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, dan dibayangkan oleh pikiran …

Edy Zaqeus:
@ Pak Sapta: Nah, itu yg menarik. Apa di surga/neraka kita msh punya alat ukur atau dapat alat ukur yg baru?
@ Pak Pras: Nah… apakah artinya no mind di sana ya?

Festie Roosma: beda kali ya….tp gmana bedanya ya belum bisa dipastikan…wong belum pernah ke dua t4 itu je…tapi yang pernah kupahami di surga itu sdh tidak ada lagi nafsu duniawi otomatis jiwa, pikiran/emosi ya ga akan sama lagi tho? krn jiwa, pikiran/emosi kita saat ini sgt dipengaruhi oleh nafsu duniawi. Itu penjelasan di surga tapi aku lom ngerti di … neraka gmana….karena yang diinformasikan dr aku kecil sampe sekarang di neraka itu adanya cuma siksaan n siksaan…ga dikasih penjelasan apakah kita akan merasakan siksaan itu sama seperti kalo di dunia…

Edy Zaqeus: Festie, menarik dn lbh detail. ok, kl jiwa, pikiran, emosi sdh tdk sama, apakah ukuran2 yg kita pakai ketika di bumi masih berlaku di sana ya? Contoh, kl skr sy sebut ‘ini baik’ lalu di sana apa masih ‘ini baik’….

Prasetya M Brata: Ya bolah-boleh saja — begin from the end in mind — karena itu memberi bisa digunakan untuk menciptakan alasan yang kuat untuk kita melakukan atau menghindari apa2 yang diperintahkan & dilarangNya di ‘sini’… krn menurut ajaran iman saya juga, kehidupan ‘sono’ sebagai buah itu adalah hasil ‘menanam’ di ‘sini’ …

Edy Zaqeus: Nah, itu penting Pak Pras utk memperjelas imajinasi ini. Berarti apakah ada ‘kesinambungan’, ‘jejak’, ‘ruh’, atau ‘hal serupa tapi tak sama’ dr esensi di bumi dg di surga/neraka…? Saya masih pingin dapat lbh byk imajinasi…

Prasetya M Brata: ruhnya dari alam sebelum ke alam sesudah ‘sini’ itu sama … alamnya yang berbeda …tentu ada ‘jejak’nya .. sambungannya … tapi kudu belajar lebih dalam lagi soal ini .. hehehe …. kalo alam di dunia ini diciptakan Tuhan setelah Vetty Vera .. karena Alam memang adiknya Vetty Vera …

Festie Roosma: rasanya di sana sudah tidak ada lagi ukuran apa-apa…baik, buruk, dosa….sudah ga ada lagi…kan seperti kata pak Pras…kehidupan di sana adlh buah kehidupan di sini… jadi ukuran2 itu hanya di pakai di sini..untuk menentukan di mana tempat kita nanti..

Edy Zaqeus
@ Pak Pras: Hihihhihi… saya suka refreshingnya. Ya, kata jejak ini bisa menjebak lho Pak. Krn walau kita bilang alam beda, artinya ada ukuran-ukuran yg terbawa juga ke sana. ini menggelisahkan saya pd akhirnya hahaha
@ Festie: Nah, kl di sana (sur or ner) sdh tdk ada ukuran, berarti kita sdh tdk tahu apakah kita ‘pernah’ berbuat baik/buruk di bumi. atau ada “pengetahuan otomatis’ yg akan menjawab pertanyaan2 ini di sana nanti?

Festie Roosma: sedikit pemahamanku dari ajaran2 yg pernah kuterima…sebelum t4 kita ditentukan (s or n) ada yg namanya hisab ato perhitungan segala yang kita lakukan di dunia (amal atau dosa) … di posisi itulah menurutku 4 the last time kta tahu apa yang ‘pernah’ kita perbuat (baik/buruk) di dunia…

Edy Zaqeus: Nah, ini statement penting. Dlm tempat ‘baru’ nanti, berarti kita tanpa pengetahuan baik & buruk ala ‘bumi’ ya. brarti sdh tdk ada lg konteks ‘nikmat surga’ or ‘siksa neraka’ ala ‘bumi’…? atau khusus yg ‘siksa neraka’ tetap pakai ukuran ‘bumi’… masih ingin berimajinasi…

Djatmiko Tanuwidjojo: Karena surga itu artinya kebun, maka mungkin akan sama dg kebun di bumi ini. Maka dari itu, supaya bisa masuk surga, bawalah peralatan berkebun waktu meninggal nanti, supaya ndak nganggur di sana…:)

Edy Zaqeus: Nah, ini agak beda dg arus besar Pak. Tambah kaya nih… Berarti konteks masih dibawa ke sana…? Jd msh ada korelasi ‘ini baik’ di ‘sini’ dg ‘ini baik’ di ‘sana’ juga sebaliknya…

Djatmiko Tanuwidjojo: Ya menurutku dilihat dari etimologinya saja kita bisa meraba konsep atau gagasan dibaliknya. Surga itu kebun, ada yg menyebut taman (kebun) eden atau firdaus. Paradise berasal dari bhs persia yg artinya taman dg saluran2 airnya. Kenapa surga dibahasakan dg makna kebun? Sementara bagi bbrp suku indian di amerika, apa yg kita namakan surga adalah …padang perburuan dg banyak bison yg merumput. Jadi masing2 kultur punya ilusinya sendiri ttg ‘alam yg serba enak’ tsb. Bagi orang cina, hidup di dunia dan di alam seberang sana, sama saja. Makanya kalau mereka mati, di dalam peti matinya dibawakan rupa2: rumah2an, uang2an, dst…:)

Festie Roosma: hmm…akhirnya semua kembali pada keyakinan masing-masing…

Edy Widjaya: Mas, kalo soal imaginasi ttg surga, boleh ditunggu film terbarunya Peter Jackson (Lord of the Rings, Kingkong) The Lovely Bones – main di bulan Desember nanti. Di situ dia akan coba gambarkan yg namanya surga seperti apa. Saya sudah lihat trailer-nya & hasilnya : luar biasa…. Btw, kalo ttg Surga, saya teringat kata2 si Robert Kiosaki : “Everyone wants to go heaven, but nobody wants to die…” He..he..he.. Udah siap, beloom, guys ???

Celine Nikita Lie: mnrt keprcyaan sy, perasaan sblm kt meninggalkan dunia itulah yg akan menjadi penentu kt akan ke dunia neraka atau dunia yg lh baik drpd neraka, krn gmn pun jg sbnrnya surga atau neraka ada d dlm perasaan jiwa kt yg msh hidup ini…

Mugi Hari: Wah kebalikan lagunya dhani crisye . . . Jika surga dan neraka tak pernah ada

Dyah Apri Rohayati: Tulis komentar…waduh mas kalau surga dan neraka ndak ada berarti manusia jg ndak ada yg mengenal kebaikan kan keburukan!

Djatmiko Tanuwidjojo: neraka dan surga itu bisa saja dikatakan sebagai harapan utopia dan kekhawatiran distopia, akibat kecemasan manusia dalam menghadapi kematian. gambaran apapun tentang kedua hal tsb, semuanya berupa asumsi tentang adanya hari pemenuhan janji dan pembalasan terhadap apa yang tak terselesaikan dalam kehidupan (misalnya: masa sih, orang ‘jahat’ tidak … menerima konsekuensi atas perbuatannya, demikian pula sebaliknya). namun ada satu soal: jika orang percaya dengan monoteisme, bukankah berarti sumber kebaikan dan kejahatan itu satu dan sama?…lantas apa istimewanya kebaikan dibandingkan dengan keburukan, jika sumbernya sama?

Edy Zaqeus: Pak Djatmiko, Festie, Pak Edy, Celine, Pak Mugi, Saroh, dll: Sebenarnya pertanyaan status saya itu bersumber dr pertanyaan yg lain; kalau jiwa di bumi yg punya logika, pikiran, emosi, sdh tdk identik dg jiwa ketika di Sur or Ner, bukankah itu bisa menyebabkan putusnya hubungan kausalitas utk keberadaan di ‘sono’ nanti? Semisal, para teroris itu … salah satunya ngarep masuk surga (dg cara kekerasan yg dibungkus nilai ttt) dn dijemput bidadari… apa ya bener dia nanti bisa menikmati ‘hadiahnya’ di ‘sono’ sebagaimana dia persepsikan enaknya di sini (kl sdh tdk ada jiwa yg identik)?

Moga-moga diskusi berlanjut dan semua perspektif dapat memperkaya wawasan kita semua. Salam. ~ez

* Tanggapan dalam Note FB (selected):

Hanna Fransisca:

Kalau dah di Surga tak perlu apa-apa lagi, Mas. Tak usah pakai pikiran, emosi, perasaan, bla… Nikmati aja. Kalau dah di Surga tak perlu apa-apa lagi, Mas. Tak usah pakai pikiran, emosi, perasaan, bla… Nikmati aja.

Maria Agatha Catursari

mas Edy, “status” yg cerdas utk memancing diskusi. Bangsa kita sedang menghadapi bencana yg pasti melibatkan aroma “kematian”. Komenku: Aku tidak tau pasti krn belum pernah ikut “tour ke surga atau neraka”.(he3x) Setauku manusia terdiri dr body, mind, soul, spirit. (mgkn masih ada yg tau ada lg selain yg kusebut). Surga atau neraka (dan api penyucian, menurut iman kristen katolik-ku) menurutku berada di ranah spirit. Jadi apakah kita tetap sama (aku masih seperti yg dulu…) mungkin mas Edy bisa menebak kira2 apa pendapatku soal ini. Bravo, a very “smart” question!

Agung Webe

yang bisa mempunyai rasa ya pikiran, ada dualitas. ada laki ada perempuan, ada panas ada dingin, ada enak ada pahit, ada siksa ada pahala.. itu semua dualitas dari pikiran manusia.. nah kalau di surga atau neraka masih ada dualitas, ada laki ada perempuan, ada panas ada dingin, ada tinggi ada rendah, ya itu namanya surga dan neraka pikiran.. surga neraka yang di terjemahkan selama ini adalah sebuah tempat yang masih ada dualitas, masih mengandung unsur bagian2 dari pikiran..
tentu saja jiwa, pikiran, perasaan/emosi sudah tidak kita pakai lagi di alam tersebut ( …… ??? ) kita memakai bagian dari tubuh yang lebih halus dari itu semua dan lebih tinggi frekwensinya dengan itu semua..
mau dijelaskan? wah yang bisa dijelaskan itu adalah ‘ranah’ pikiran yang masih mempunyai bentuk…

Edy Zaqeus

@ Mbak Hanna: Apa di sana kita jd kehilangan karunia pikiran, logika, perasaa, emosi, imajinasi dll ya… mengingat setidaknya di bumi hal2 itulah yg mjdkan manusia lbh mulia dibanding mahluk lain… Atau ada karunia ‘baru’ di ‘sana’?
@ Mbak Aga: Andai kita tinggal ranah spirit, apakah spirit kita masih berakal budi ya di sana? Saya msh blm mampu membayangkan apa jadinya diri kita tanpa akal budi (sbg premis kemuliaan manusia di ‘bumi’)…
@ Pak Agung: Bagus Pak. Itu sebabnya, pertanyaan saya jgn2 ini hanya bisa menembus angin. Artinya, mana mungkin mendeskripsikan sesuatu yg diluar domain atau dimensi pikiran…? Bgm mendefinisikan sesuatu yg tak mungkin didefinisikan krn ada problem keabsahan metode pendefinisian…

Kuntjoro Sukardi

Wah begitu beragamnya komentar, moga-moga saya masih kebagian. Hemat saya : kematian itu kan terlepasnya sukma dari wadag / fisik. Dan sukma diterima di akhirat. Di poskan di sorga atau di neraka itu hak prerogatif Allah via malaekatnya. Saya kira jiwa/sukma kita masing-masing akan merespons apa yg dihadapi berdasar referensi yg didapatnya waktu di bumi. Hanya saja jiwa harus beradaptasi dulu. Dari semula yg terkurung dalam raga, menjadi kondisi tanpa dimensi lagi. Kalau nggak percaya, silakan . . . siapa yg mau nyoba . . .

Edy Zaqeus

Menarik Pak Kun, jiwa tanpa dimensi lagi… Ini mirip penjelasan yg kmr baru saya terima dr seorang sahabat. Itulah Pak persoalannya, kl preferensi nilai mjd relatif, netral, bahkan nisbi atau nihil di alam ‘sono’, jangan-jangan itu bisa membuat kita punya alasan utk mengabaikan atau merelatifkan semua ‘nilai’ di bumi hehehe… Komentar boleh dilanjut.

Witjak Widhi Cahya

tidak identik, masuk bumi dan masuk surga punya ‘standar’ berbeda, sebelum dipenuhi ‘jiwa’ tidak akan kemana-mana, ini menurut salah satu hukum fisika. Pun ras manusia dari paling primitif katakan ordo ‘Phitecanthopus’ menemukan ‘dunia’-nya dan menemukan ‘kiamat’-nya sendiri, ini juga terjadi pada manusia nenek moyang manusia modern (Homo sapiens), akan-kah mahluk ‘manusia modern’ seperti kita (homo sapiens sapiens) menemukan kiamat-nya .. aku kira peluangnya besar … pertanyaan ini telah membuat aku agnostik selama 3 tahun .. buat edy ‘asem … ‘

Kuntjoro Sukardi

Kiamat??? Kita masih ingat betapa khawatirnya dunia digital menghadapi berakhirnya milenium ke2 lalu memasuki masa milenium ke3, pada saat mana akan terjadi keguncangan seolah masuk ke lorong waktu yang tidak terperi. Ternyata alam dan seisinya diatur Tuhan bagaikan ular yang nglungsungi, melepas kulit luarnya, lalu kembali jadi segar. Sistim digital mampu memasuki milenium ke 3 hanya dng sedikit masuk angin. Tentang menafikan spirit positif, sikap pasif – mas Mario Teguh mengingatkan bahwa : walau yakin Tuhan tidak akan pelit selalu mengasihi kita, kita tetap harus berdoa, selalu memohon ke padaNya.

Maria Saumi

Hahaha..sy pernah sewaktu smp or sma sy lupa berdiskusi dengan adek sy yg tentunya sama2 cetek ilmunya. Ketika lagi membahas surga n neraka itu, absolutly kami berdua yakin ada. Tetapi ketika membahas surga yg diceritakan n diberitakan semua penghuninya “hidup enak, nyaman, damai dsb”..lalu kita berdua “apa ngk bosen ya?” Hahaha kerjaannya makan, tidur,bersenang2 sama bidadari n bidadara…hehehe kesimpulan yg aneh ya..hehehe..tapi akhirnya saat dewasa ini mungkin sy berpikir seperti bbrp teman diatas. Bahwa parameter “rasa” yg standar kita rasakan didunia pastilah berbeda..maksud saya hal2 yg dianggap negatif dlm diri manusia di dunia, tentunya dengan otomatis hilang..tergantikan dengan “parameter manusia” yg asli..yaitu sewaktu nabi adam n hawa belum diturunkan di dunia..yaitu kondisi keadaan makhluk yg “belum berbuat dosa”. Begitu mas EZ sy sumbang opini..matur nuwun..wah boleh tuh dibikin artikel di web ALB.com ya..hahahaha

Edy Zaqeus

@ Witjak: Soal kiamat berseri ini memang ada beberapa versi penjelasan. Nah, soal jiwa yg tidak identik ini krn standar atau ukurannya beda, apakah kita msh punya kesadaran utk mengenali keberbedaannya? Atau kita tdk perlu apapun utk mengenali atau menyadari keberbedaan itu? Atau kita adl diri, jiwa, spirit, entitas, atau zat yg tak berkesadaran di ‘sana’ nanti? Lanjutken….
@ Pak Kuntjoro: Soal kiamat ini ada yg bilang ttg teori kiamat kecil & kiamat besar Pak. Kiamat kecil konon katanya dpt dilihat dr musnahnya fase-fase kehidupan tertentu, spt punahnya era dinosaurus dn diganti dg era manusia….bla..bla..bla… Pertanyannya, era apa setelah manusia nanti hehehe…
@ Maria: Nah, soal parameter rasa yg berbeda ini yg menumbuhkan pertanyaan. Sbb, parameter yg sama juga bisa dikenakan utk kasus neraka. Apakah parameter rasa neraka ala ‘bumi’ sama dg parameter neraka ala ‘langit’? Balik ke basic, apa di neraka jg msh bisa ditemukan parameter atau kesadaran?

Aleysius Hanafiah Gondosari

Kalau pengalaman pribadi saya kontak emosi dengan yang sudah meninggal, bila orangnya baik dan pasrah, maka emosinya senang dan bahagia. Semakin baik, ia semakin bahagia. Sebaliknya, bila orangnya berniat jahat dan tidak pasrah, secara emosi ia merasa menderita.

Edy Zaqeus

Nah, ini menjawab bahwa sekalipun jiwa atau diri kita tidak identik antara alam bumi dg alam ‘sana’, setidaknya ada gambaran yg masih bersambungan. artinya, mungkin emosi masih dibawa sampai ‘sana’. atau, apa yg kita lihat hanya bisa kita interpretasikan sesuai konteks kita di sini (menderita atau bahagia), sementara esensi di ‘sana’nya mgk … Read Moremengalami atau memiliki kesadaran yg berbeda. ttp, hasil penggambaran yg kita pahami itulah yg mungkin mjd bahan dasar pengajaran-pengakaran ttg baik dan buruk.